Jumat, 06 November 2009


ESAI SASTRA

“DAM” SEBUAH PEMBERONTAKAN DIRI
TERHADAP KEPINCANGAN SOSIAL, EKONEMI, DAN MORAL.

Oleh Teguh Pamono

Putu Wijaya seorang sastrawan ulung yang sangat kaya dengan ide-ide baru dalam mengemas peristiwa-peristiwa yang sebenarnya tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Bahkan peristiwa itu kita alami tiap hari. Memang, sebagai seorang sastrawan tidak diragukan lagi, ia memanfaatkan kemampuannya dalam bermain dengan logika dan nonlogika (absurditas) hingga segala yang ada dan yang mungkin ada, atau bahkan yang tak ada sama sekalipun bisa diadakan sehingga nampak seperti ada dan nyata adanya. Satu kekuatan luar biasa dahsyatnya, jika Putu menggarap fenomena menjadi berbagai macam bentuk kemungkinan karya, yang membuka peluang bagi pembaca untuk memasaknya, mencicipi, menguyah-ngunyah, menelan, dan memuntahkan kembali baik melalui jalan atas (mulut) maupun melalui jalan bawah (silit), baik hanya berupa uap, angin ataupun yang berupa endapan-endapan ampas. Semua membuka peluang untuk itu.
“Dam” sebuah istilah yang memiliki berbagai makna sesuai dengan dari mana, di mana – ke mana, untuk kepentingan apa, oleh siapa, dan dalam keadaan apa kita memaknainya. Dam dapat diartikan ‘bendungan air’, ‘bermain dam-daman’, dan dapat pula diartikan ‘denda’. ‘Dam’ dalam kontek lain juga dapat dimaknai secara anamatopis (tiruan bunyi), ‘dentuman bunyi’. Makna-makna itu adalah makna-makna dalam kontek konvensi sosial (benar adanya atau benar-benar ada secara objektif). Tapi karena satu kata bagi seorang sastrawan bisa memberi peluang berjuta makna DAM dapatlah diada-adakan maknanya, misalnya Diriku Amat Merana, Ah Amat Menawan, Dengkulmu Amoh Mas, dll.
Beda dengan ‘Dam’ di atas. ‘Dam’ dalam kontek naskah ini memverbal-visulisasikan satu gejala peristiwa kehidupan yang ‘pincang’, yang tidak seimbang antara satu individu dengan individu lain, antara kalangan dengan kalangan lain, antara kemauan, pikiran, dan perasaan satu dengan perasaan lain. Sisi-sisi itu membentuk arus gerakan yang saling bersinggungan, saling bergesek, saling berbentur, bahkan saling (dengan sengaja dan berencana) mendistorsi. Bila berbagai komponen yang berbeda itu di-(ber-) kolaborisi dengan pertimbangan etika, moral, dan norma-norma sosial hingga membentuk sebuah kesatuan harmonis akan menjadi kekuatan demi membangaun masyarakat yang damai sejahtera. Tetapi, akan lain jadinya bila berbagai ‘sisi’ itu tidak berada dalam posisinya masing-masing. Akan semrawut, akan tidak terjadi ‘bentuk’ yang indah. Dalam kontek kehidupan akan terjadi pelanggaran-pelanggaran aturan normatif-sosialis, aturan konvensional, bahkan aturan kodrat irodat-nasib yang semestinya. Satu gambaran ‘aku adalah laki-laki tetapi aku tidak mau jadi laki-laki, aku secara kodrati berposisi menjadi sudut 60 derajat, tapi aku juga ingin menjadi sudut 90 derajat. Kita bisa membayangkan sendiri apa yang bakal terjadi: keruwetan, ktidakjelasan, ketidakpasian, yang pada akhirnya terjadi kekaburan nilai-nilai yang dibangun untuk kedamaian hidup. Jadinya, tidak akan terjadi kesejahteraan hidup .
Putu dengan kejeliannya mengungkapkan hal itu. Diawalinya lakon oleh seorang tokoh dalang (dalang kehidupan yang memiliki kekuasaan mutlak). Dalang memberi isyarat awal mula penyerangan terhadap kedamaian itu dengan bentuk bahasa simbolis penuh metaforis dan terkesan ritmik-puitis sebagai berikut.

“Suara air gemericik menuruni tebing landai. Guguran bunga kamboja melayang di sela batu-batu. Seekor kupu-kupu mencari kembang. Ulat hijau merentang-rentangkan tubuh di atas selembar daun. Lalu sebuah sepatu menginjak semuanya”

Dan, yang lebih mengesankan lagi penistaan kedamaian itu dilegitimasi dengan upacara adat ritual spiritual. Atau boleh dikatakan ‘selamatan ruwatan’ mengharap berkah keselamatan. Aneh memang. Absurd memang. Bagaimana mungkin perbuatan kontra sosial dilakukan dengan ‘ketok palu’ penguasa (dalam hal ini dalang) dengan upacara ritual spitual. Sebuah tindakan melawan ‘sosial’ dilegitimasi dengan nuansa agamis dan dalam tingkat kesadaran yang tinggi. Mirip pengaburan pemaknaan istilah jihad bagi gerakan teroris yang dilakukan Ashari ddk.
Dikatakan oleh dalang, “… ia (disebutnya tertuduh) sama sekali tak mengelak atau mencoba mengaburkan apa yang sudah dikerjakannya. Ia menerangkan semuanya dengan singkat, waras, dan tuntas. ..”
Sebuah pengakuan yang telanjang tanpa tedeng aling-aling bahwa tindakan ‘kontra sosial’ dilakukan dengan keyakinan ‘rasa benar’.

“Aku hanya menjalankan apa yang kuarasa benar. Aku tak sengaja mempergunakan celurit, karena itulah senjata yang ada di pingir jalan ketika keinginan itu muncul. Tapi keinginan apa? Aku tak pasti betul, keinginan membunuh atau apa. Pokoknya tiba-tiba ada luapan rasa benci, benci. Kebencian itu begitu menggelegak, harus disalurkan.”

Dari kata-kata tokoh ini tampak jelas bahwa dia melakukan pembunuhan benar-benar dilandasi oleh kesadaran. Seperti nampak pada dialog, Pokoknya ada luapan rasa benci, benci. Kebencian itu begitu menggelegak, harus disalurkan.” Kesadaran untuk menyalurkan hasrat libido. Tindakan ini bila dianalisa dengan ilmu jiwa Freud dapat dikatakan bahwa unsur ego tak mampu mengendalikan dorongan it yang melesak dari dalam. Sementara unsur superego dengan tanpa perhitungan memutuskan untuk melakukan tindakan. Artinya, kesadaran tetap terkontrol ketika tokoh Tertuduh melakukan pembunuhan.Tidak ada perasaan salah sama sekali pada diri pelaku. Yang ada adalah keinginan menyalurkan desakan rasa benci kepada siapa juga tidak tahu. Yang jelas ia (tertuduh) melakukan penyaluran hasrat kebencian kepada yang namanya ketimpangan, ketidaksamaan, ketidakmerataan (dikatakan oleh tertuduh dengan istilah ketidakadilan).

“… aku adalah korbannya. Tidak! Ini bukan dendam. Bagaimana bisa dendam kalau aku baru satu kali itu melihat dia. Mobilnya terlalu bagus dan mulus. Aku benci semua mobil dan seluruh isinya, khusunya mobil-mobil berkelas yang menghina kemiskinan negeri ini.”

Tertuduh beranggapan bahwa kepincangan (karena ia berada di posisi tidak diutungkan) dianggap suatu ketidakadilan. Dan inilah sebenarnya yang sangat mendorong tertuduh merasa dihina, dipinggirkan, jadi makhluk marginal secara sosial-kultural, ekonomi, dan ideologi. Dari sisi penganut dan penegak norma sosial, hal demikian merupakan sesuatu yang ‘salah’ yang harus dihukum, diadili. Tidak dibenarkan luapan hasrat kebencian dihempaskan dengan melanggar dan menghilangkan nyawa orang lain. Tidak bisa, dengan alasan apapun. Dia harus membayar tindakannya itu dengan mahal. Dengan nuraninya sendiri ia berhadapan, dengan pikirannya sendiri ia berhadapan, bahkan dia berhadapan dengan hakikat kemanusiaannya sendiri sebagai kodrat penempatan dalam posisi, fungsi dan tugas hidup dan kehidupannya sendiri.
Namun, bagaimanapun gemuruhnya, dahsyatnya penghadangan tindakan kontra sosial, tak kan pernah sukses ditumpas tuntas. Sisa-sisa masalah yang berhubungan dengan itu akan terus membiak. Karena kenyataan itu adalah kenyataan yang selalau menyertai dikotomi kehidupan sejak zaman primitif. Bagai garis sinar yang membuat bias dan semburan jarak. Semakin jauh sinar semakin suram daya tembusnya tetapi sinar itu tetap ada.
Diungkapkan oleh Putu di akhir ceritanya dengan kesimpulan yang puistis.

“Suara air gemericik menuruni tebing landai. Guguran bunga kamboja melayang di sela batu-batu. Seekor kupu-kupu mencari kembang. Ulat hijau merentang-renatngkan tubuhnya di atas selembar daun. Lalu sebuah sepatu menginjak semuanya. Tapi suara gemericik air lain terus menuruni teping.”

Sisa masalah yang berkenaan dengan ketidakmampuan sistem norma sosial menumpas tuntas tindakan kontra sosial itu disebutkan dalam penutup cerita (dialog Dalang), “Tapi suara gemericik air lain terus menuruni tebing.” Ucapan Dalang ini bisa menimbulkan berbagai kemungkinan garis crita lain. Misalnya kalau kita menganut hukum bahwa hidup ini bagai roda yang berputar, maka gemericik suara air lain bisa jadi akan diikuti oleh injakan sepatu besar yang lain. Begitu sterusnya. Tapi, kalau kita berpedoman pada filosofi bahwa hidup ini adalah sebuah misteri maka kemungkinan injakan kaki lain terhadap gemericik suara air masih menjadi teka-teki. Belum dapat disimpulkan karena belum benar-benar terjadi.
Karena segalanya serba mungkin itulah, akhirnya Putu dengan sengaja menyatakan (melalui dialog Dalang), “Ini bukan lakon, tapi perisiwa sebenarnya, eh salah lagi, maaf, maaf, ini hanya lakon bukan peristiwa sebenarnya.”
Akhirnya, upacara ritual sepiritual tontonan kepincangan dan tidakan kontra sosial itu diakhiri dengan ‘ketok palu’ penutup yang terasa semakin sadis dan tidak perlu lagi minta maaf.

Dalang mengetokkan palu tiga kali. Dari atas jatuh sebuah kepala manusia. Kepala itu tergantung dengan tail. Dalang mengucapkan maaf lagi lalu mengetokkan palu, turun lagi sebuah kepala. Maaf lagi. Turun kepala. Maaf dan kepala. Maaf dan kepala. Dan seterusnya bertambah cepat tetapi suara maafnya tambah lirih kemudian hilang. Kepala terus berjatuhan sehingga tempat itu penuh dengan kepala yang tergantung.



Pagak, 29 Nopember 2005
Penulis adalah Guru SMAN 1 Pagak
Disampaikan pada acara Sarasehan Teater dalam rangka Bulan Bahasa 2005 di SMAN 1 Pagak, Malang

tersenyumla dia


ESAI PENDIDIKAN

BIMBINGAN BELAJAR SEBAGAI TEROBOSAN PENINGKATAN PRESTASI OPTIMUM DI SMU NEGERI 1 PAGAK


Oleh : Teguh Pramono



Dunia semakin maju. Tekonologi berkembang pesat. Tuntutan hidup manusia pun kian meningkat dan bervariasi, seiring dengan berbagai kemajuan dan perkembangan itu. Aneka keterampilan dan pengetahuan yang menunjang sukses seseorang menduduki bidang profesi tertentu, tidak lagi relevan satu atau dua tahun kemudian. Setiap kali muncul teknologi terapan baru, setiap orang harus belajar lagi – entah belajar menggunakan hasil teknologi itu, atau belajar mengatasi berbagai efek sampingan yang ditimbulkannya (Roessle Materka,1990:5). Satu-satunya cara untuk mengantisipasi keadaan yang demikian adalah menerapkan long life education. Lebih-lebih dalam kondisi kehidupan negara sedang berkembang yang mengalami krisis (krisis mental, krisis ekonomi, politik, dan krisis kepercayaan) serta semakin ketatnya persaingan lokal maupun global, menuntut kita untuk dapat berbuat lebih (lebih cepat, lebih keras, lebih cerdik, lebih profesional, lebih bermoral/berakhlak)! Dengan kata lain, kalau kita ingin mampu bersaing dengan bangsa lain, kita harus bisa berbuat luar biasa (lebih bermutu dari orang lain).
Dalam buku kumpulan artikel terbitan SOB (School of Business) yang berjudul “Sukses Meniti Karir” dinyatakan bahwa untuk bisa berhasil maksimal, kita harus bermental juara, yakni berprinsip:
a. menjadi sosok luar biasa (berbuat lebih baik dari kebanyakan orang)
b. lebih baik menjadi loko daripada gerbong (bersikap proaktif, inovatif, tidak mengekor saja dalam rangka produktif dan profesionalisme)
c. berprinsip I can , if I think can (aku bisa jika berfikir untuk bisa)
d. stop thinking, and start acting
e. ulet dan pantang menyerah
f. bersikap low profile high profit jika belum bisa high profile high profit
Nah! Bagaimana engkau wahai warga SMUPa? Tidakkah mulai sekarang kita segera mengubah pola prinsip ABS (Asal Bapak Senang)? Asal masuk sekolah daripada nganggur di rumah! Asal dapat ijazah, toh tidak melanjutkan! Sambil menunggu dilamar orang! Prinsip-prinsip mental lemah demikian harus disingkirkan karena akan menghambat kemajuan! Ingat AFTA (ASEAN Free Trade Area) sudah di ujung hidung (tahun 2003), yang segera disusul era pasar bebas tahun 2020. Untuk mengantisipasi era ini, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus berpacu mempersiapkan diri. Kalau tidak, kita akan jadi tamu di negeri sendiri. Dan mata kita hanya bisa melihat sliwar-sliwernya hasil teknologi bangsa lain yang beterbangan di atas atap rumah kita. Sementara itu, mulut kita ngiler karena tidak bisa menikmati barang canggih itu (menurut ukuran kita)! Ah, sungguh menakutkan!
Tidak ada sukses yang datang dengan cuma-cuma. Tetapi, yang ada adalah sukses karena perjuangan dan kerja keras! Begitu kata pepatah! Artinya, kalau kita ingin sukses di kemudian hari, kita harus berjuang dengan kerja ekstra keras. Kalau tidak, kita tidak akan mampu bersaing dengan siapa pun. Begitu juga dengan produk pendidikan di SMUPa ini. Tanpa perjuangan yang pantang menyerah, tidak akan bisa kita bersaing dengan sekolah-sekolah lain. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa salah satu permasalahan rumit yang dihadapi oleh SMUPa adalah rendahnya prestasi akademik. Hal ini terbukti dari data laporan perolehan nilai NUM (Nilai Ulangan Umum Murni), SMUPa selalu berada pada posisi yang tidak menggembirakan. Data terakhir (Cawu 1 Tahun 2001/2002) menunjukkan keadaan tersebut (Lihat Tabel 1, 2, dan 3).









TABEL PERINGKAT NUM SMU KABUPATEN MALANG CAWU 1
TAHUN PELAJARAN 2001/2002

KELAS I

NO
NAMA SEKOLAH
RATA-RATA NUM
1
SMUN KEPANJEN
74,84
2
SMUN 1 BATU
72,22
3
SMUN 1 LAWANG
68,69
4
SMUN 2 BATU
66,29
5
SMUN 1 TUREN
63,71
6
SMUN SB.PUCUNG
62,49
7
SMUN 1 NGANTANG
60,15
8
SMUN 1 TUMPANG
59,81
9
SMUN 1 GONDANGLEGI
59,49
10
SMUN 1 PAGAK
55,82
11
SMUN 1 BANTUR
53,37
12
SMUN 1 DAMPIT
49,12
TABEL : 1


KELAS II
NO
NAMA SEKOLAH
RATA-RATA NUM
1
SMUN 1 KEPANJEN
78,98
2
SMUN 1 BATU
76,13
3
SMUN 1 LAWANG
74,14
4
SMUN1 SB.PUCUNG
68,03
5
SMUN 1 TUMPANG
67,69
6
SMUN 1 TUREN
66,45
7
SMUN 2 BATU
65,87
8
SMUN 1 NGANTANG
63,37
9
SMUN 1 GD.LEGI
63,36
10
SMUN 1 BANTUR
60,50
11
SMUN 1 PAGAK
60,04
12
SMUN 1 DAMPIT
54,06
TABEL : 2














KELAS III

NO
PROG BAHASA
RATA-RATA NUM
PROG. IPA
RATA-RATA NUM
PROG. IPS
RATA-RATA NUM
1
SMUN 1 KEPANJEN
46,12
SMUN 1 KEPANJEN
62,74
SMUN 1 BATU
62,59
2
SMUN 2 BATU
44,06
SMUN 1 BATU
61,74
SMUN 1 KEPANJEN
60,92
3
SMUN 1 TUMPANG
41,18
SMUN 1 LAWANG
59,53
SMUN 1 LAWANG
58,75
4
SMUN 1 BATU
40,34
SMUN 1 PAGAK
57,72
SMUN 2 BATU
55,96
5
SMUN 1 LAWANG
39,69
SMUN 2 BATU
56,69
SMUN 1 SB.PUCUNG
54,47
6
SMUN 1 GD.LEGI
38,77
SMUN 1 TUMPANG
56,30
SMUN 1 TUREN
54,12
7
SMUN 1 SB.PUCUNG
38,41
SMUN 1 TUREN
54,27
SMUN 1 BANTUR
53,45
8
SMUN 1 PAGAK
37,67
SMUN 1 SB.PUCUNG
53,75
SMUN 1 TUMPANG
52,34
9
SMUN 1 BANTUR
35,68
SMUN 1 DAMPIT
52,16
SMUN 1 NGANTANG
51,70
10
-

SMUN 1 GD.LEGI
51,71
SMUN 1 GD.LEGI
51,47
11
-

SMUN 1 NGANTANG
50,99
SMUN 1 PAGAK
51,43
12
-

SMUN 1 BANTUR
50,48
SMUN 1 DAMPAIT
47,85

TABEL : 3


Tabel tersebut menunjukkan bahwa posisi SMUPa kurang menggembirakan. Dari 12 sekolah negeri untuk kelas I dan kelas II masing-masing menduduki posisi peringkat X dan XI. Sementara itu untuk kelas III Bahasa pada posisi VIII dari sembilan sekolah, program IPS urutan XI dari dua belas sekolah. Sedangkan posisi mengembirakan diraih program IPA , yakni berada pada posisi IV dari dua belas sekolah.
Sebagai sekolah yang sudah berusia 18 tahun (14 Pebruari 2002), yang relatif lebih tua jika dibandingkan dengan SMUN Gondanglegi, Turen, Bantur, Ngantang, Sumber Pucung, dan Batu 2, kenyataan in sungguh menyedihkan kita semua. Mengapa ini bisa terjadi? Padahal sarana dan prasarana SMUPa relatif lebih lengkap jika dibandingkan dengan 12 sekolah tersebut? Apakah yang menyebabkan prestasi akademik SMUPa lebih rendah? Gurunyakah? Siswanyakah?Sistemnyakah? Atau lingkungan masyarakatnya yang kurang memberikan kontribusi iklim belajar yang kondusif? Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini akan tetap menjadi misteri jika tidak ada upaya-upaya perbaikan.
Salah satu terobosan yang terbukti mampu mengangkat martabat dan nama SMUPa dalam bersaing dengan sekolah-sekolah lain di wilayah Kabupaten Malang adalah Bmbingan Belajar Khusus bagi siswa berprestasi (punya kemauaan dan kemampuan). Sebagai gambaran, peserta bimbingan ini diambil dari rangking kelas dan rangking NUM pada kelas paralel. Pola ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan kemampuan siswa peserta, yang jika mengandalkan perolehan materi di dalam kelas tidak bisa tercapai karena harus menunggu siswa yang lambat (low grade). Di samping itu dalam kesehariannya diharapkan mereka bisa menjadi guru sebaya (tutor sebaya) dalam kelasnya masing-masing. Adapun materi yang dibimbingkan adalah materi-materi esensial dari bidang studi yang dianggap/dirasakan sulit, yakni Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, dan Kimia.
Sebagai langkah terobosaan sampai saat ini, pola bimbingan ini sangat ampuh. Dari empat bidang studi yang dibimbingkan kepada 29 peserta, ada 28 siswa yang jumlah rata-rata nilai ulangan umum murninya mengalami kenaikan dengan drastis. Ini artinya 99% siswa peserta bimbingan berhasil mencapai peningkatan optimum. Sementara itu hanya satu orang saja yang gagal (kurang dari 1 %). Dengan demikian nampak jelas bahwa program bimbingan belajar khusus ini memberikan kontribusi signifikan kepada peningkatan prestasi akademik. Bagaimana perkembangan NUM sebelum dan setelah mengikuti program Bimbingan Belajar Khusus secara rinci dapat dilihat pada tabel 4.








TABEL 4 : PERKEMBANGAN NUM SETELAH MENGIKUTI PROGRAM BIMBINGAN KHUSUS CAWU 1 TAHUN 2001/2002

NO.
NAMA
KLS
BIG
MAT
FIS
KIM



























































































































































































































































































































































































































































































Dari tabel perbandingan perolehan NUM cawu 3 tahun 2000/2001 dan cawu 1 tahun pelajaran 2001/2002 (setelah mengikuti program bimbingan) dapat diketahui kenaikan rata-rata dari 29 peserta program bimbingan mencapai 40,13 poin. Dari empat bidang studi yang diprogramkan kenaikan yang menonjol pada bidang studi Matematika dan Fisika. Sementara itu Bahasa Inggris dan Kimia masih belum menunjukkan prestasi kenaikan yang menggembirakan. Ini mungkin disebabkan oleh konsentrasi belajar para peserta program bimbingan terfokus kepada kedua bidang studi itu, sehingga dua bidang studi yang lain jadi kurang diperhatikan. Seperti nampak pada tabel 4 di atas. Secara rinci dari 29 peserta program bimbingan belajar, untuk Bahasa Inggris 12 orang justru mengalami penurunan, 5 orang tidak mengalami perubahan (bertahan pada posisi NUM sebelumnya). Sementara itu untuk bidang studi Matematika yang mengalami penurunan hanya 4 orang dan 0 orang untuk Fisika. Sedangkan bidang studi Kimia 7 orang mengalami penurunan, 6 orang tidak berubah, sedang sisanya 16 orang mengalami kenaikan. Terlepas dari itu semua, bagaimanapun Bimbingan Belajar Ekslusif ini mampu mendongkrak posisi SMUPa dalam penempatan rangking matapelajaran SMU di Kabupaten Malang. Artinya, setelah diadakan program bimbingan khusus, SMUPa bisa bicara tentang rangking akademik walau masih sebatas untuk bidang studi tertentu saja.
Perbandingan perolehan NUM bidang studi yang diprogramkan dalam Bimbingan Khusus dengan rangking SMU Kabupaten Malang dapat dilihat dalam tabel 5.

TABEL 5 : PERBANDINGAN NUM CAWU 1 SMUN PAGAK DENGAN NUM TERTINGGI SMU KABUPATEN MALANG.

NO.
MATA PELAJARAN
NAMA SISWA
KELAS
NUM
NILAI TERTINGGI KAB.MALANG
1
Bahasa Inggris
1. Yui Ika
2. Dwi Cahyaningsih
3. Ayub Wahyudi
II.1
II.2
II.2
86
84
78
90 SMUN Bantur
86 SMUN 1 Batu
86 SMUN 1 Batu
2
Matematika
1. Priyadi
2. Dhamas Mega A
3. Eko Yulinanto
II.2
II.2
II.1
96
76
72
96 SMUN Pagak
96 SMUN 2 Batu
96 SMUN 1 Lawang
3
Fisika
1. Dhamas Mega A
2. Dwi Cahyaningsih
3. Yayuk Dwi
II.2
II.2
II.2
83
83
80
93 SMUN 1 Lawang
90 SMUN 2 Batu
88 SMUN 1 Kepanjen
4
Kimia
1. Heri Purnomo
2. Priyadi
3. Sudian Agus
4. Yayuk Dwi
II.2
II.2
II.1
II.2
73
73
73
73
93 SMUN 1 Batu
93 SMUN 1 Kepanjen
93 SMUN 1 Batu

Tabel 5 menunjukkan bahwa bidang studi Bahasa Inggris rangking tertinggi Kabupaten Malang mencapai 90, sementara SMUPa masih mencapai 86 (sama dengan rangking 2 dan 3 Kab.Malang). Artinya, kalau SMUPa menginginkan rangking 1 bidang studi Bahasa Inggris harus mampu menaikkan 4 poin. Sedangkan untuk bidang studi Fisika dan Kimia masih jauh tertinggal, masing-masing tertinggal dengan 10 poin dan 20 poin. Yang paling menggembirakan bidang studi Matematika, SMUPa bisa menempatkan diri pada posisi rangking 1 Kabupaten Malang. Posisi ini harus dipertahankan! Kalau bisa diikuti oleh bidang studi yang lain. Syukur-syukur bias dari rangking ini menular kepada seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Bagaimana engkau wahai warga SMUPa? Berani mengikuti tantangan? Kenapa takut?
Jangan takut! Masih banyak celah-celah yang bisa diterobos agar ‘kegelapan akademik’ bisa berubah menjadi terang benderang. Untuk memerangi ‘kejahiliyahan akademik’ ini kuncinya bukan ‘bisa atau tidak bisa’, tetapi ‘mau atau tidak mau’ kita menembus celah-celah itu. Mau apa tidak kita mengolah celah itu menjadi peluang. Ingat prinsip I can, if I think can (aku bisa jika aku berpikir untuk bisa). Pepatah ini mengajari kita untuk selalu menggunakan segala kemampuan (daya pikir, kemauan, dan trik-trik estetik) untuk mencapai tujuan. Artinya, kalau kita ingin sejajar dengan sekolah lain dengan modal ‘cupet’ berarti kita harus melakukan berbagai inovasi kreatif agar ‘kecupetan’ itu bisa menjadi lapang. Dan dalam hal ini bimbingan khusus sudah membuktikan hal itu. Nah, kenapa bimbingan belajar tidak ditangani secara khusus dan serius oleh TIM pengembang sekolah? Bahkan, kalau perlu bimbingan diberikan bukan hanya kepada siswa berprestasi tetapi kepada seluruh siswa yang membutuhkan. Pertanyaan yang muncul jika memang gagasan ini dilaksanakan adalah : maukah kita? Siapkah kita? Mampukah kita? Pedulikah kita ? Bisa konsistenkah kita? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang akan menguji mental juang kita. Dan sekali lagi semuanya tergantung kepada kita sendiri! Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, tanpa ia mau mengubahnya!

Pagak, 31 Januari 2002
Penulis adalah Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMUN 1 Pagak.

FOTO SESEPUH